Daily Archives: 10 Agustus 2012

BUSANA MUSLIMAH DALAM KEHIDUPAN



1. Pengantar
Banyak kesalah pahaman terhadap Islam di tengah masyarakat. Misalnya saja jilbab. Tak sedikit orang menyangka bahwa yang dimaksud dengan jilbab adalah kerudung. Padahal tidak demikian. Jilbab bukan kerudung. Kerudung dalam Al Qur`an surah An Nuur : 31 disebut dengan istilah khimar (jamaknya : khumur), bukan jilbab. Adapun jilbab yang terdapat dalam surah Al Ahzab : 59, sebenarnya adalah baju longgar yang menutupi seluruh tubuh perempuan dari atas sampai bawah.
Kesalahpahaman lain yang sering dijumpai adalah anggapan bahwa busana muslimah itu yang penting sudah menutup aurat, sedang mode baju apakah terusan atau potongan, atau memakai celana panjang, dianggap bukan masalah. Dianggap, model potongan atau bercelana panjang jeans oke-oke saja, yang penting ‘kan sudah menutup aurat. Kalau sudah menutup aurat, dianggap sudah berbusana muslimah secara sempurna. Padahal tidak begitu. Islam telah menetapkan syarat-syarat bagi busana muslimah dalam kehidupan umum, seperti yang ditunjukkan oleh nash-nash Al Qur`an dan As Sunnah. Menutup aurat itu hanya salah satu syarat, bukan satu-satunya syarat busana dalam kehidupan umum. Syarat lainnya misalnya busana muslimah tidak boleh menggunakan bahan tekstil yang transparan atau mencetak lekuk tubuh perempuan. Dengan demikian, walaupun menutup aurat tapi kalau mencetak tubuh alias ketat –atau menggunakan bahan tekstil yang transparan– tetap belum dianggap busana muslimah yang sempurna.
Karena itu, kesalahpahaman semacam itu perlu diluruskan, agar kita dapat kembali kepada ajaran Islam secara murni serta bebas dari pengaruh lingkungan, pergaulan, atau adat-istiadat rusak di tengah masyarakat sekuler sekarang. Memang, jika kita konsisten dengan Islam, terkadang terasa amat berat. Misalnya saja memakai jilbab (dalam arti yang sesungguhnya). Di tengah maraknya berbagai mode busana wanita yang diiklankan trendi dan up to date, jilbab secara kontras jelas akan kelihatan ortodoks, kaku, dan kurang trendi (dan tentu, tidak seksi). Padahal, busana jilbab itulah pakaian yang benar bagi muslimah.
Di sinilah kaum muslimah diuji. Diuji imannya, diuji taqwanya. Di sini dia harus memilih, apakah dia akan tetap teguh mentaati ketentuan Allah dan Rasul-Nya, seraya menanggung perasaan berat hati namun berada dalam keridhaan Allah, atau rela terseret oleh bujukan hawa nafsu atau rayuan syaitan terlaknat untuk mengenakan mode-mode liar yang dipropagandakan kaum kafir dengan tujuan agar kaum muslimah terjerumus ke dalam limbah dosa dan kesesatan.
Berkaitan dengan itu, Nabi SAW pernah bersabda bahwa akan tiba suatu masa di mana Islam akan menjadi sesuatu yang asing –termasuk busana jilbab– sebagaimana awal kedatangan Islam. Dalam keadaan seperti itu, kita tidak boleh larut. Harus tetap bersabar, dan memegang Islam dengan teguh, walaupun berat seperti memegang bara api. Dan in sya-allah, dalam kondisi yang rusak dan bejat seperti ini, mereka yang tetap taat akan mendapat pahala yang berlipat ganda. Bahkan dengan pahala lima puluh kali lipat daripada pahala para shahabat. Sabda Nabi SAW :
“Islam bermula dalam keadaan asing. Dan ia akan kembali menjadi sesuatu yang asing. Maka beruntunglah orang-orang yang terasing itu.” (HR. Muslim no. 145)
“Sesungguhnya di belakang kalian ada hari-hari yang memerlukan kesabaran. Kesabaran pada masa-masa itu bagaikan memegang bara api. Bagi orang yang mengerjakan suatu amalan pada saat itu akan mendapatkan pahala lima puluh orang yang mengerjakan semisal amalan itu. Ada yang berkata,’Hai Rasululah, apakah itu pahala lima puluh di antara mereka ?” Rasululah SAW menjawab,”Bahkan lima puluh orang di antara kalian (para shahabat).” (HR. Abu Dawud, dengan sanad hasan)
2. Aurat dan Busana Muslimah
Ada 3 (tiga) masalah yang sering dicampuradukkan yang sebenarnya merupakan masalah-masalah yang berbeda-beda.
Pertama, masalah batasan aurat bagi wanita.
dua, busana muslimah dalam kehidupan khusus (al hayah al khashshash), yaitu tempat-tempat di mana wanita hidup bersama mahram atau sesama wanita, seperti rumah-rumah pribadi, atau tempat kost.
Ketiga, busana muslimah dalam kehidupan umum (al hayah ‘ammah), yaitu tempat-tempat di mana wanita berinteraksi dengan anggota masyarakat lain secara umum, seperti di jalan-jalan, sekolah, pasar, kampus, dan sebagainya. Busana wanita muslimah dalam kehidupan umum ini terdiri dari jilbab dan khimar.
a. Batasan Aurat Wanita
Aurat wanita adalah seluruh anggota tubuhnya kecuali wajah dan dua telapak tangannya. Lehernya adalah aurat, rambutnya juga aurat bagi orang yang bukan mahram, meskipun cuma selembar. Seluruh tubuh kecuali wajah dan dua telapak tangan adalah aurat yang wajib ditutup. Hal ini berlandaskan firman Allah SWT :

‘Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.’ (QS An Nuur : 31)
Yang dimaksud “wa laa yubdiina ziinatahunna” (janganlah mereka menampakkan perhiasannya), adalah “wa laa yubdiina mahalla ziinatahinna” (janganlah mereka menampakkan tempat-tempat (anggota tubuh) yang di situ dikenakan perhiasan). (Lihat Abu Bakar Al-Jashshash, Ahkamul Qur`an, Juz III hal. 316).
Selanjutnya, “illa maa zhahara minha” (kecuali yang (biasa) nampak dari padanya). Jadi ada anggota tubuh yang boleh ditampakkan. Anggota tubuh tersebut, adalah wajah dan dua telapak tangan. Demikianlah pendapat sebagian shahabat, seperti ‘Aisyah, Ibnu Abbas, dan Ibnu Umar (Al-Albani, 2001 : 66). Ibnu Jarir Ath-Thabari (w. 310 H) berkata dalam kitab tafsirnya Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur`an Juz XVIII hal. 84, mengenai apa yang dimaksud dengan “kecuali yang (biasa) nampak dari padanya” (illaa maa zhahara minha) : “Pendapat yang paling mendekati kebenaran adalah yang mengatakan,’Yang dimaksudkan adalah wajah dan dua telapak tangan.” Pendapat yang sama juga dinyatakan Imam Al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur`an, Juz XII hal. 229 (Al-Albani, 2001 : 50 & 57).
Jadi, yang dimaksud dengan apa yang nampak dari padanya adalah wajah dan dua telapak tangan. Sebab kedua anggota tubuh inilah yang biasa nampak dari kalangan muslimah di hadapan Nabi SAW sedangkan beliau mendiamkannya. Kedua anggota tubuh ini pula yang nampak dalam ibadah-ibadah seperti haji dan shalat. Kedua anggota tubuh ini biasa terlihat di masa Rasulullah SAW, yaitu di masa masih turunnya ayat Al Qur`an (An-Nabhani, 1990 : 45). Di samping itu terdapat alasan lain yang menunjukkan bahwasanya seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan dua telapak tangan karena sabda Rasulullah SAW kepada Asma` binti Abu Bakar :
‘Wahai Asma` sesungguhnya seorang wanita itu apabila telah baligh (haidl) maka tidak boleh baginya menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini, seraya menunjukkan wajah dan telapak tangannya.’ (HR. Abu Dawud)
Inilah dalil-dalil yang menunjukkan dengan jelas bahwasanya seluruh tubuh wanita itu adalah aurat, kecuali wajah dan dua telapak tangannya. Maka diwajibkan atas wanita untuk menutupi auratnya, yaitu menutupi seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya.
b. Busana Muslimah dalam Kehidupan Khusus
Adapun dengan apa seorang muslimah menutupi aurat tersebut, maka di sini syara’ tidak menentukan bentuk/model pakaian tertentu untuk menutupi aurat, akan tetapi membiarkan secara mutlak tanpa menentukannya dan cukup dengan mencantumkan lafadz dalam firman-Nya (QS An Nuur : 31) “wa laa yubdiina” (Dan janganlah mereka menampakkan) atau sabda Nabi SAW “lam yashluh an yura minha” (tidak boleh baginya menampakkan tubuhnya) (HR. Abu Dawud). Jadi, pakaian yang menutupi seluruh auratnya kecuali wajah dan telapak tangan dianggap sudah menutupi, walau bagaimana pun bentuknya. Dengan mengenakan daster atau kain yang panjang juga dapat menutupi, begitu pula celana panjang, rok, dan kaos juga dapat menutupinya. Sebab bentuk dan jenis pakaian tidak ditentukan oleh syara’.
Berdasarkan hal ini maka setiap bentuk dan jenis pakaian yang dapat menutupi aurat, yaitu yang tidak menampakkan aurat dianggap sebagai penutup bagi aurat secara syar’i, tanpa melihat lagi bentuk, jenis, maupun macamnya.
Namun demikian syara’ telah mensyaratkan dalam berpakaian agar pakaian yang dikenakan dapat menutupi kulit. Jadi pakaian harus dapat menutupi kulit sehingga warna kulitnya tidak diketahui. Jika tidak demikian, maka dianggap tidak menutupi aurat. Oleh karena itu apabila kain penutup itu tipis/transparan sehingga nampak warna kulitnya dan dapat diketahui apakah kulitnya berwarna merah atau coklat, maka kain penutup seperti ini tidak boleh dijadikan penutup aurat.
Mengenai dalil bahwasanya syara’ telah mewajibkan menutupi kulit sehingga tidak diketahui warnanya, adalah hadits yang diriwayatkan dari Aisyah RA bahwasanya Asma` binti Abubakar telah masuk ke ruangan Nabi SAW dengan berpakaian tipis/transparan, lalu Rasulullah SAW berpaling seraya bersabda :
‘Wahai Asma` sesungguhnya seorang wanita itu apabila telah baligh (haidl) tidak boleh baginya untuk menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini.’ (HR. Abu Dawud)
Jadi Rasulullah SAW menganggap kain yang tipis itu tidak menutupi aurat, malah dianggap menyingkapkan aurat. Oleh karena itu lalu Nabi SAW berpaling seraya memerintahkannya menutupi auratnya, yaitu mengenakan pakaian yang dapat menutupi.
Dalil lainnya juga terdapat dalam hadits riwayat Usamah bin Zaid, bahwasanya ia ditanyai oleh Nabi SAW tentang Qibtiyah (baju tipis) yang telah diberikan Nabi SAW kepada Usamah. Lalu dijawab oleh Usamah bahwasanya ia telah memberikan pakaian itu kepada isterinya, maka Rasulullah SAW bersabda kepadanya :
‘Suruhlah isterimu mengenakan baju dalam di balik kain Qibtiyah itu, karena sesungguhnya aku khawatir kalau-kalau nampak lekuk tubuhnya.'(HR. Ahmad dan Al-Baihaqi, dengan sanad hasan. Dikeluarkan oleh Adh-Dhiya’ dalam kitab Al-Ahadits Al-Mukhtarah, Juz I hal. 441) (Al-Albani, 2001 : 135).
Qibtiyah adalah sehelai kain tipis. Oleh karena itu tatkala Rasulullah SAW mengetahui bahwasanya Usamah memberikannya kepada isterinya, beliau memerintahkan agar dipakai di bagian dalam kain supaya tidak kelihatan warna kulitnya dilihat dari balik kain tipis itu, sehingga beliau bersabda : ‘Suruhlah isterimu mengenakan baju dalam di balik kain Qibtiyah itu.’
Dengan demikian kedua hadits ini merupakan petunjuk yang sangat jelas bahwasanya syara’ telah mensyaratkan apa yang harus ditutup, yaitu kain yang dapat menutupi kulit. Atas dasar inilah maka diwajibkan bagi wanita untuk menutupi auratnya dengan pakaian yang tidak tipis sedemikian sehingga tidak tergambar apa yang ada di baliknya.
c. Busana Muslimah dalam Kehidupan Umum
Pembahasan poin b di atas adalah topik mengenai penutupan aurat wanita dalam kehidupan khusus. Topik ini tidak dapat dicampuradukkan dengan pakaian wanita dalam kehidupan umum, dan tidak dapat pula dicampuradukkan dengan masalah tabarruj pada sebagian pakaian-pakaian wanita.
Jadi, jika seorang wanita telah mengenakan pakaian yang menutupi aurat, tidak berarti lantas dia dibolehkan mengenakan pakaian itu dalam kehidupan umum, seperti di jalanan umum, atau di sekolah, pasar, kampus, kantor, dan sebagainya. Mengapa ? Sebab untuk kehidupan umum terdapat pakaian tertentu yang telah ditetapkan oleh syara’. Jadi dalam kehidupan umum tidaklah cukup hanya dengan menutupi aurat, seperti misalnya celana panjang, atau baju potongan, yang sebenarnya tidak boleh dikenakan di jalanan umum meskipun dengan mengenakan itu sudah dapat menutupi aurat.
Seorang wanita yang mengenakan celana panjang atau baju potongan memang dapat menutupi aurat. Namun tidak berarti kemudian pakaian itu boleh dipakai di hadapan laki-laki yang bukan mahram, karena dengan pakaian itu ia telah menampakkan keindahan tubuhnya (tabarruj). Tabarruj adalah, menempakkan perhiasan dan keindahan tubuh bagi laki-laki asing/non-mahram (izh-haruz ziinah wal mahasin lil ajaanib) (An-Nabhani, 1990 : 104). Oleh karena itu walaupun ia telah menutupi auratnya, akan tetapi ia telah bertabarruj, sedangkan tabarruj dilarang oleh syara’.
Pakaian wanita dalam kehidupan umum ada 2 (dua), yaitu baju bawah (libas asfal) yang disebut dengan jilbab, dan baju atas (libas a’la) yaitu khimar (kerudung). Dengan dua pakaian inilah seorang wanita boleh berada dalam kehidupan umum, seperti di kampus, supermarket, jalanan umum, kebun binatang, atau di pasar-pasar.
Apakah pengertian jilbab ? Dalam kitab Al Mu’jam Al Wasith karya Dr. Ibrahim Anis (Kairo : Darul Maarif) halaman 128, jilbab diartikan sebagai “Ats tsaubul musytamil ‘alal jasadi kullihi” (pakaian yang menutupi seluruh tubuh), atau “Ma yulbasu fauqa ats tsiyab kal milhafah” (pakaian luar yang dikenakan di atas pakaian rumah, seperti milhafah (baju terusan), atau “Al Mula`ah tasytamilu biha al mar`ah” (pakaian luar yang digunakan untuk menutupi seluruh tubuh wanita).
Jadi jelaslah, bahwa yang diwajibkan atas wanita adalah mengenakan kain terusan (dari kepala sampai bawah) (Arab : milhafah/mula`ah) yang dikenakan sebagai pakaian luar (di bawahnya masih ada pakaian rumah, seperti daster, tidak langsung pakaian dalam) lalu diulurkan ke bawah hingga menutupi kedua kakinya.
Untuk baju atas, disyariatkan khimar, yaitu kerudung atau apa saja yang serupa dengannya yang berfungsi menutupi seluruh kepala, leher, dan lubang baju di dada. Pakaian jenis ini harus dikenakan jika hendak keluar menuju pasar-pasar atau berjalan melalui jalanan umum (An-Nabhani, 1990 : 48).
Apabila ia telah mengenakan kedua jenis pakaian ini (jilbab dan khimar) dibolehkan baginya keluar dari rumahnya menuju pasar atau berjalan melalui jalanan umum, yaitu menuju kehidupan umum. Akan tetapi jika ia tidak mengenakan kedua jenis pakaian ini maka dia tidak boleh keluar dalam keadaan apa pun, sebab perintah yang menyangkut kedua jenis pakaian ini datang dalam bentuk yang umum, dan tetap dalam keumumannya dalam seluruh keadaan, karena tidak ada dalil yang mengkhususkannya.
Dalil mengenai wajibnya mengenakan dua jenis pakaian ini, karena firman Allah SWT mengenai pakaian bagian bagian atas (khimar/kerudung) :
‘Hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.’ (QS An Nuur : 31)
Dan karena firman Allah SWT mengenai pakaian bagian bawah (jilbab) :
‘Wahai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya.’ (QS Al Ahzab : 59)
Adapun dalil bahwa jilbab merupakan pakaian dalam kehidupan umum, adalah hadits yang diriwayatkan dari Ummu ‘Athiah RA, bahwa dia berkata :
‘Rasulullah SAW memerintahkan kaum wanita agar keluar rumah menuju shalat Ied, maka Ummu ‘Athiyah berkata,’Salah seorang di antara kami tidak memiliki jilbab?” Maka Rasulullah SAW menjawab: ‘Hendaklah saudarinya meminjamkan jilbabnya kepadanya!'(Muttafaqun ‘alaihi) (Al-Albani, 2001 : 82).
Berkaitan dengan hadits Ummu ‘Athiyah ini, Syaikh Anwar Al-Kasymiri, dalam kitabnya Faidhul Bari, Juz I hal. 388, mengatakan : “Dapatlah dimengerti dari hadits ini, bahwa jilbab itu dituntut manakala seorang wanita keluar rumah, dan ia tidak boleh keluar [rumah] jika tidak mengenakan jilbab.” (Al-Albani, 2001 : 93).

Dalil-dalil di atas tadi menjelaskan adanya suatu petunjuk mengenai pakaian wanita dalam kehidupan umum. Allah SWT telah menyebutkan sifat pakaian ini dalam dua ayat di atas yang telah diwajibkan atas wanita agar dikenakan dalam kehidupan umum dengan perincian yang lengkap dan menyeluruh. Kewajiban ini dipertegas lagi dalam hadits dari Ummu ‘Athiah RA di atas, yakni kalau seorang wanita tak punya jilbab –untuk keluar di lapangan sholat Ied (kehidupan umum)—maka dia harus meminjam kepada saudaranya (sesama muslim). Kalau tidak wajib, niscaya Nabi SAW tidak akan memerintahkan wanita mencari pinjaman jilbab.
Untuk jilbab, disyaratkan tidak boleh potongan, tetapi harus terulur sampai ke bawah sampai menutup kedua kaki, sebab Allah SWT mengatakan : “yudniina ‘alaihinna min jalabibihinna” (Hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka.).
Dalam ayat tersebut terdapat kata “yudniina” yang artinya adalah yurkhiina ila asfal (mengulurkan sampai ke bawah/kedua kaki). Penafsiran ini –yaitu idnaa` berarti irkhaa` ila asfal– diperkuat dengan dengan hadits Ibnu Umar bahwa dia berkata, Rasulullah SAW telah bersabda :
“Barang siapa yang melabuhkan/menghela bajunya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada Hari Kiamat nanti.’ Lalu Ummu Salamah berkata,’Lalu apa yang harus diperbuat wanita dengan ujung-ujung pakaian mereka (bi dzuyulihinna).” Nabi SAW menjawab,’Hendaklah mereka mengulurkannya (yurkhiina) sejengkal (syibran)’(yakni dari separoh betis). Ummu Salamah menjawab,’Kalau begitu, kaki-kaki mereka akan tersingkap.’ Lalu Nabi menjawab,’Hendaklah mereka mengulurkannya sehasta (fa yurkhiina dzira`an) dan jangan mereka menambah lagi dari itu.” (HR. At-Tirmidzi Juz III, hal. 47; hadits sahih) (Al-Albani, 2001 : 89)
Hadits di atas dengan jelas menunjukkan bahwa pada masa Nabi SAW, pakaian luar yang dikenakan wanita di atas pakaian rumah –yaitu jilbab– telah diulurkan sampai ke bawah hingga menutupi kedua kaki.
Berarti jilbab adalah terusan, bukan potongan. Sebab kalau potongan, tidak bisa terulur sampai bawah. Atau dengan kata lain, dengan pakaian potongan seorang wanita muslimah dianggap belum melaksanakan perintah “yudniina ‘alaihinna min jalaabibihina” (Hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbabnya). Di samping itu kata min dalam ayat tersebut bukan min lit tab’idh (yang menunjukkan arti sebagian) tapi merupakan min lil bayan (menunjukkan penjelasan jenis). Jadi artinya bukanlah “Hendaklah mereka mengulurkan sebagian jilbab-jilbab mereka” (sehingga boleh potongan), melainkan Hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka (sehingga jilbab harus terusan).(An-Nabhani, 1990 : 45-51)
3. Penutup
Dari penjelasan di atas jelas bahwa wanita dalam kehidupan umum wajib mengenakan baju terusan yang longgar yang terulur sampai ke bawah yang dikenakan di atas baju rumah mereka. Itulah yang disebut dengan jilbab dalam Al Qur`an.
Jika seorang wanita muslimah keluar rumah tanpa mengenakan jilbab seperti itu, dia telah berdosa, meskipun dia sudah menutup auratnya. Sebab mengenakan baju yang longgar yang terulur sampai bawah adalah fardlu hukumnya. Dan setiap pelanggaran terhadap yang fardlu dengan sendirinya adalah suatu penyimpangan dari syariat Islam di mana pelakunya dipandang berdosa di sisi Allah. [

Mungkin Aku Akan Menunggu Jika Kau Benar-Benar Akan Datang Untukku


Kadang kuduga kita sebenarnya tidak sedang menjalani, melainkan melangkah pergi. Pelan tapi pasti. Hingga nanti suatu hari tiba-tiba kita telah sendiri. Dan satu2nya yang bisa kita ingat adalah bahwa kita telah saling lupa..

Harus begitukah akhirnya?
Tidak. Hapus akhirnya. Kita tulis nanti saja, saat telah terjadi.
Semoga berujung dimuara yang sama. Aku masih ingin menjadi istrimu, yang nntinya ku basuh bajumu, memasak makanan kesukaanmu,,  melahirkan anakmu, menyambut pulangmu ditiap hari, dan ku buat engkau bahagia sampai akhirnya aku harus berhenti dimati.

Bisa begitukah akhirnya?
Ah, akhirnya semua terserah Yang Maha Kuasa. Mari mengalir..

mari hanyut dalam takdir..

Tinggallah Lebih Lama, Wahai…..


Ramadhan,

jiwaku yang kerontang tak akan bisa memungkirimu

kau yang hening di dalam kesucianmu

kau yang gegap gempita di dalam semarak warnamu

dan heningmu, dan gempitamu, semua itu adalah keindahan semata

bagi jiwa-jiwa kami yang selau merindukan adamu

betapa maha tak terlukiskannya Dia Yang Maha Segalanya

yang telah menciptakanmu, Ramadhan

sehingga jiwa-jiwa kering inipun selalu mendamba hadirmu

adalah bahagia ketika waktu berbukamu tiba

bahkan kantuk yang beratpun di malam-malam sahurmu tetap saja menyisakan buncahan rasa yang menggetarkan itu…..(mengapa kau harus berlalu secepat ini?)

namun kau akan terus tinggal di sini, Ramadhan

di dalam jiwa-jiwa yang tenang;

para pencintamu.

Taqwanya Semakin Menaik Tangga


Satu bulan iman dan taqwa ditempa

Mengerja wajib rukun islam ketiga

Sebelas bulan terlihat hasilnya

Membagus, biasa saja, atau justru menghangus pahala

****

Manusia berlomba menggapai derajat tahu

Jumlahnya berpuluh,beribu,berjuta

Agar bisa membeda terang-gulita

Agar bisa menyimpul lurus-bengkok

Demi nyaman dan indah di hari esok

****

Dan di bulan rukun islam ketiga

Dikala para iblis dikekang Sang Maha

Tak sedikit jiwa-jiwa membangga

Hanya diwarna lapar-dahaga

Hanya dikenyang santapan dosa

****

Tapi hanya yang menggapai derajat paham

Yang kokoh dirayu goda meragam

Goda yang menghitam jaman melegam Ramadhan

Goda yang menghibur penghuni Jahannam

****

Duhai. Orang berderajat tahu hanya membeda

Orang berderajat paham pandai mengerja, mengajak pula

Maka beruntunglah mereka yang berpuasa

Mereka yang taqwanya semakin menaik tangga

Lailatul Qadar


(1)

Seribu bulan

Bersujud di hadapan-Nya

Lalu, atas izin-Nya

Seribu bulan itu

Bersemayam di hatimu

Di hati insan-Nya nan terpilih cinta

Insan mulia yang dikehendaki-Nya

(2)

Lalu

Lailatul Qadar itu

Meresap membasahi wajahmu

Ia menghadirkan keindahan senyuman

Dan, tatapmu-pun mengalirkan cinta-Nya

(3)

Lalu

Lailatul Qadar itu

Men-sucikan hatimu

Ia merias hidupmu menjadi cahaya syukur

Syukur yang membasuh gerak langkah dan ulur tanganmu menjadi ringan

Ia mewujudkan keindahan malam seribu bulan dalam titian hidupmu yang indah

Ia senantiasa hadir menyapa

Dalam setiap tutur kata, tatap sayang dan keindahan perbuatanmu

Ia telah memuliakan mesjid-Nya di hatimu

(4)

Lailatul Qadar

Engkaulah anugerah terindah

Bagi insan-Nya yang bertaqwa

Insan yang telah lulus meniti 30 anak tangga iman

Distiap anugerah mulia Ramadhan-Nya yang damai.

Mempersiapkan Kematian


anggapan bahwa obrolan tentang kematian adalah hal yang tabu, tidak menyenangkan, dan tidak layak untuk diangkat sebagai sebuah tema diskusi. Terlebih kalau lawan bicara kita orang yang sudah senior, jangan pernah coba mengajak mereka untuk bertukar pendapat tentang kematian. Itu adalah hal yang sangat tidak recomended.

Namun apakah benar segitu sensitifnya hal ini sehingga topik kematian sepertinya harus dihindari? Begitu tidak menyenangkankah sebuah kata kematian sehingga itu menjadi hal yang selalu dijauhi? Apalagi kalau kita mengatakan, sudahkah kita mempersiapkan kematian kita. Wah, bisa-bisa kita didamprat habis-habisan. Jadi apakah alasan sebenarnya kenapa kematian begitu dihindari untuk dibicarakan?

Kematian tabu untuk dibicarakan mungkin karena ketidakjelasan kita akan kemanakah setelah meninggal. Masih menjadi sebuah misteri besar sampai sekarang belum ketemu jawabannya. Maklum saja, karena tidak ada yang pernah ke sana dan kembali lagi. Meskipun ada beberapa kesaksian yang mengatakan mereka pernah ‘mati’ dan dibawa keliling ke beberapa tempat, tetapi itu masih menjadi hal diperdebatkan. Bagi yang percaya, hal itu akan menebalkan iman kepercayaan mereka. Bagi yang tidak percaya, mungkin cibiran yang akan mereka berikan.

Konon setelah kita mati, maka kita akan transformasi bentuk dari keadaan kita sekarang menjadi bentuk yang lain. Ada sebuah tempat baru yang sudah disiapkan kepada kita yang sudah meninggal. Karena kita tidak tahu bagaimanakah bentuk tempat yang akan kita datangi setelah kematian, makanya banyak orang yang merasa takut, gelisah, dan kuatir. Kita hanya bisa menebak tanpa adanya sebuah kepastian. Sebuah dunia baru yang –mungkin– sama sekali berbeda dengan keadaan sekarang. Tetapi bisa juga dunia baru yang –mungkin—sama persis dengan keadaan sekarang.

Kalau mau dianalogikan, menyeberang ke dunia baru setelah kematian adalah seperti kita tiba-tiba diutus ke sebuah daerah antah berantah, yang tidak pernah kita dengar lokasinya, dan sama sekali tidak ada referensi tentang daerah itu. Nah, bagaimanakah perasaan kita saat mengetahui kita diutus ke sana? Reaksi umum pertama pastinya gelisah. Mungkin ada juga yang takut. Mengapa? Karena itu hal yang baru sekali. Analogi ini mungkin terlalu sederhana untuk membandingkannya dengan dunia baru setelah kematian. Tetapi inti masalahnya sama, yaitu adanya kegelisahan karena kita harus menyeberang ke daerah baru yang tidak kita tahu sama sekali.

Untuk membuat kita lebih tenang, maka dibuatlah konsep surga dan neraka. Surga selalu digambarkan sebagai sebuah tempat yang indah, damai, tenang, teduh, dan tentunya menyenangkan. Gambaran ini dibuat supaya ketakutan kita akan dunia baru itu sirna. Tentunya banyak syarat yang diajukan supaya kita bisa masuk ke sana. Dan syarat-syarat yang diajukan pastinya tidak jauh dari yang namanya kebaikan, amal, kesalehan, dan sejuta hal-hal baik lainnya.

Berlawanan dengan surga, ada konsep neraka. Itu adalah tempat yang konon disiapkan bagi orang-orang yang kelakuannya berujung dengan hal-hal mudarat. Neraka digambarkan dengan tempat yang penuh siksaan, hukuman, cambukan, dan juga api yang menyala-nyala. Dengan adanya kedua konsep itulah diharapkan setiap orang bisa mempersiapkan kematian mereka dengan baik.

Seberapa siapkah kita menghadapinya? Kematian tidak mengenal usia, waktu, jabatan, status sosial. Dia datang begitu saja tanpa ada pengumuman. Dan tidak ada yang tahu kapan dia akan datang menyambut kita. Jadi kalau sudah begitu hukumnya, bagaimanakah kita mempersiapkan kematian kita?

Mempersiapkan kematian di sini bukan berarti mempersiapkan kita nanti mau dimakamkan di mana, peti matinya menggunakan kayu merek apa, disemayamkan di rumah duka mana, mau dikuburkan atau dikremasi, termasuk wasiat akan dibagikan ke siapa saja. Itu penting. Tetapi bukan yang utama.

Persiapan kematian di sini adalah seberapa siap jiwa kita lepas meninggalkan raga kita. Seberapa siap kita memasuki dan beradaptasi dengan dunia baru yang akan kita masuki. Seberapa siap kita dengan hal-hal baru, yang pastinya menyenangkan, yang akan kita temui di sana.

Saya senang dengan sebuah logika lain mengenai transformasi kita setelah kematian. Analoginya adalah waktu kita transformasi dari diri kita yang belum ada menjadi kita sekarang ini. Kita tidak pernah tahu sebelum kita dibentuk di rahim ibu kita seperti apa khan? Tahu-tahu saja kita jadi dan lahir seperti sekarang. Seharusnya ada sebuah dunia lain sebelumnya dan kita tidak tahu seperti apa bentuknya. Saat itu mungkin kita juga tidak tahu bagaimana bentuk kehidupan di bumi seperti sekarang ini. Saat itu mungkin kita meraba-raba dan takut juga menghadapi transformasi ini. Dan perasaan yang sama muncul juga sekarang. Menjelang kematian, kita masih buta akan dunia baru itu.

Kalau memakai analogi di atas, kelihatannya kematian itu tidaklah menakutkan bukan? Seharusnya saat membicarakan kematian bukan lagi hal yang menakutkan, tetapi tumbuh rasa exciting dan tidak sabar dalam menyambut kematian. Dan pastinya sudah siap menyambutnya kalau-kalau dijemput sekarang juga bukan?

Tetapi tidaklah buru-buru juga karena masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan di dunia ini. Sebuah titipan yang menjadi tugas yang harus dituntaskan. Sampai kita merasa mission accomplished, barulah kita siap menjelang dunia baru itu untuk next mission. Apakah begitu?

Ego dan Nurani


Ego bersuara dengan lantangnya

Kau adalah mata pisau!

Kau tajam dan siap menyayat

Tak perlu ada satupun insan yang kau takuti

Kau adalah pemilik bumi

Dan kau pun merajainya

Dasar pikirmu adalah aku

Aku tunjuki kau hidup dengan perkasa

Bukan hidup yang payah

Kau pemilik bumi

Dan memang kaulah rajanya

Nurani menyambut dengan lembut

Kau adalah kertas putih…

Begitu bersih dan mudah robek

Kau mudah terbang terbawa angin

Tapi kau juga bisa tertuliskan sajak-sajak indah

Dari tinta-tinta kehidupan yang berwarna

Kau bisa miliki ragamu…

Tapi tidak dengan jiwamu

Kau adalah sama dengan mereka

Hidupmu adalah untuk kau maknai

Dengan kasih dan damai dalam jiwamu

Kau tidaklah sama…

Dayamu adalah dari dirimu sendiri

Mereka harus melihatmu berdiri

Sedang mereka tergopoh-gopoh dan jatuh dikakimu

Karena kau adalah penguasanya…

Dengan mereka kau hidup

Dengan mereka pula kau bisa bermakna

Kalian adalah pengembara

Sewaktu-waktupun kau bisa terjatuh dalam perjalananmu

Dan tangan merekalah yang meraihmu untuk berdiri…

Kau adalah rajanya..

Persetan dengan mereka!!!!

Kau adalah insan yang penuh kebimbangan…

Maka berdoalah dalam sujudmu…

Dan Pepohonanpun Bersujud


“Terima kasih ya Alloh, kau telah berikan hidayah ini kepadaku. Meski mungkin terlambat, tapi aku bersyukur bisa menikmati nikmatnya ibadah kepadamu. Terimalah segala keterbatasanku ini, dan jadikan aku bersama golongan orang-orang yang beriman…”

“Pak!.. Ayo kita ke rumah saya dulu!”

Suara itu membuat dia yang sedang duduk di masjid itu menoleh. Kemudian dia tersenyum sambil mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan. Sepertinya dia sedang berdoa, sebelum doanya tersebut terhenti oleh sapaan seseorang yang ada di sampingnya tersebut.

“Tadi kan baru minum dan makan cemilan saja. Ayo sekarang kita makan nasi dulu di rumah!”

Ajak pria yang tadi menegurnya. Tanpa ada kata dari keduanya, merekapun langsung menuju keluar masjid. Kemudian mereka berjalan menuju ke sebuah rumah yang tidak terlalu jauh di samping masjid tersebut. Pria yang di tegur tadi berjalan perlahan di belakang yang mengajaknya.

“Saya malu Pak Haji, sudah beberapa hari ini merepotkan Pak Haji terus” ucapnya membuka obrolan sambil berjalan.

“Merepotkan apa? Justru saya senang. Sejak bapak disini, masjidnya jadi lebih bersih. Karena bapak selalu membersihkannya setiap hari. Nah kita sudah sampai, ayo kita langsung menuju ke meja makan saja pak. Kita makan bersama hari ini. Kebetulan anak anak juga sudah datang dari kota. Mereka ingin makan bersama bapak”

Setelah membuka pintu dan mengucap salam. Mereka berdua kemudian disambut keluarga pak haji. Anak dan istrinya dengan tersenyum mempersilahkan mereka duduk di meja makan. Tanpa menunggu lama, pak haji mulai membaca doa dan kemudian mereka bersiap untuk makan.

***

“Begini Pak Haji. Saya sudah berniat ingin menghibahkan seluruh tanah dan kekayaan saya untuk pesantren ini. Tapi ijinkan saya untuk terus tinggal di masjid ini. Rasanya saya sudah betah dan ingin di sini saja sampai… sampai…”

“Sampai kapan? Lho terus gimana dengan keluarga bapak?”

Pak haji memotong pembicaraan pria yang ada di depannya itu. Sementara itu, anak dan istri pak haji sedang sibuk membereskan piring dan makanan sisa mereka makan tadi. Pria tersebut kini menunduk dan menyiapkan lagi kata katanya yang terpotong tadi.

“Saya ingin di masjid ini saja Pak Haji. Sampai saya meninggal…”

Mendengar perkataan itu, pak haji terdiam. Dengan tajam dia menatap ke arah pria itu. terlihat kepasrahan dan ketulusan dari sikapnya berbicara. Tubuhnya yang agak membungkuk karena kecelakaan itu sepertinya telah memberikan sebuah guncangan yang hebat. Pak haji sendiri mengetahui, bahwa sebelumnya pria yang di hadapannya ini tidak seperti itu.

“Keluarga saya kan sudah meninggal semua Pak Haji. Dan justru pada saat itulah saya diberikan sebuah peringatan. Karena pada saat koma itu, saya seolah bermimpi melihat sebuah kumpulan orang orang yang sedang di siksa. Saat itulah saya menyimpulkan, mungkin itulah neraka yang disebut sebut itu. Dan saya melihat… semua keluarga saya ada di sana Pak Haji. Dan…”

Belum selesai berbicara, pria itu kemudian menangis perlahan. Dia mengingat sesuatu yang membuatnya tak kuasa menahan air mata. Pak haji hanya diam, dia sepertinya ingin berkata sesuatu. tapi menunggu saat pria itu berhenti menangis.

“Subhanallah… Mungkin itulah yang membuat Pak Khus sekarang gemar sekali tinggal di masjid ini. Bersyukurlah Pak! Itulah sebuah pertanda bahwa Pak Khus disayang dan diperhatikan Alloh dengan penggambaran pada saat bapak koma itu”

“Oh iya Pak. Kebetulan tadi anak saya bawa peci baru. Dan saya melihat sepertinya ini lebih cocok buat pak Khus. Karena yang Pak Khus pakai sekarang terlalu besar. Cobalah pak, in pasti lebih nyaman dipakainya.”

Pak haji kemudian menyodorkan sebuah kotak berisi peci baru kepada pak Khus. Perlahan pak Khus menerima dan membukanya, kemudian dia membuak peci yang dikenakannya. Dan dia sepertinya merasa nyaman sekali dengan peci yang baru di terimanya. Karena ukurannya pas, tidak seperti sebelumnya yang menggunakan ukuran terlalu besar.

“Waah terima kasih banyak ini Pak Haji. Ini lebih cocok ukurannya.”

Pak Khus tersenyum. Pak haji juga terlihat senang karena pak Khus menyukai peci barunya. Mereka kemudian mengobrol sebentar, sebelum akhirnya pak Khus berpamitan untuk mengambil wudu, karena dia ingin beri’tikaf di masjid.

***

“Lho kok pakai peci itu lagi Pak Khus?”

Pak haji bertanya ketika mereka selesai Shalat Dhuha. Pak Khus memang mengenakan peci yang pertamanya lagi. Peci yang terlihat longgar di kepalanya. Pak Khus kemudian membuka pecinya dan melihat pak haji dengan perasaan bersalah.

“Itulah Pak Haji. Saya mengalami keanehan tadi malam. Karena cuaca rasanya sangat tenang dan tidak ada hujan ataupun angin. Tapi ketika saya berwudu banyak sekali pepohonan yang roboh. Hingga saya sulit untuk berjalan ke sungai tempat wudu”

“Lho! Terus Pak Khus wudu dimana? Kan saya juga sudah nawarin untuk wudu di rumah saya saja”

“Saya tetap wudu di tempat biasa Pak Haji. Nah tepat di samping saya berwudu itulah ada pucuk pepohonan yang roboh itu. Saya simpan peci saya disana, tapi saya lupa. Dan baru ingat peci saya disimpan disana ketika sudah sampai di masjid…”

“Sudah dicari lagi ke sana Pak Khus?” Pak haji memotong perkataan pak Khus.

Mendengar pertanyaan itu, pak Khus sepertinya merasa kebingungan. Dia terdiam beberapa saat, seperti mengingat kembali apa yang telah dialaminya tadi malam. Kemudian dia berkata dengan nada nada yang ragu.

“Hmm.. Itulah Pak Haji. Saya juga aneh, karena ketika tadi pagi saya kesana ketika sudah terang. Ternyata tidak ada satupun pepohonan yang tumbang. Bahkan saya tanya kepada beberapa santri yang tadi subuh berwudu disana, memang tidak ada pohon yang roboh katanya”

“Apa!?…”

Pak haji terlihat kaget dengan perkataan pak Khus tersebut. Kemudian dengen segera dia mengajak pak Khus untuk kembali ke tempat wudu yang biasa di gunakan santrinya. Tempatnya adalah dekat sungai yang mengalirkan air sangat jernih. Sekitar sepuluh menit dari masjid tersebut.

Mereka berdua berjalan. Pak haji di depan berjalan dengan tergesa. Sementara itu pak Khus terlihat hampir kewalahan mengimbangi kecepatan berjalannya. Karena pak Khus sudah tidak bisa berjalan dengan normal. Kaki kanannya tidak bisa ditekuk sejak kecelakaan yang membuatnya koma tersebut. Sehingga dia berjalan dengan tertatih-tatih.

Sesampainya di tempat wudu tersebut. Pak haji terdiam dan memandang ke sekelilingnya berdiri. Pak Khus terlihat heran dengan sikap pak haji tersebut. disana memang terlihat beberapa helai daun pohon yang masih hijau. tapi tidak ada satupun pohon yang roboh disana. Pak haji terus melihat kesekililingnya kemudian dia melihat ke arah pepohonan. Tiba tiba…

“Subhanallah!….” Pak haji berkata spontan. Kemudian dia bersujud.

Melihat itu, pak Khus keheranan. Dia tidak mengerti dengan apa yang dilakukan pak haji. dia hanya diam dan melihat saja. Pak Khus kemudian melihat ke sekelilingnya, tapi tidak ada yang aneh. Sehingga dia hanya diam dan menunggu pak haji saja yang menjelaskan semuanya.

“Ada apa Pak Haji?”

Pak Khus bertanya dengan ragu. Setelah melihat pak haji bangun dari sujudnya. Pak haji tidak langsung menjawab, dia hanya melihat tajam ke arah pak Khus, kemudian dia mengatur nafas. Dengan senyuman dan nafas yang teratur, pak haji berkata perlahan.

“Subhanalloh… bersyukurlah Pak Khus. Mungkin bapak telah diperlihatkan dengan salah satu keajaiban lagi…”

“Maksud Pak Haji? Keajaiban apa pak?” Pak Khus bertanya dengan sangat penasaran.

“Hmm… Dulu saya pernah mendengar dari kakek saya. Bahwa sesekali pepohonan di sekitar sini bersujud pada saat malam yang diyakini kakek saya sebagai malam Lailatul Qadar. Dan sekarang mungkin Pak Khus yang bisa menyaksikannya kembali…”

“Maksudnya? Saya semakin tidak mengerti nih Pak”

“Lihatlah ke pucuk pohon itu…”

Pak haji berkata sambil menunjuk ke arah pucuk pohon yang tidak begitu dari tempatnya berdiri. Pak Khus kemudian melihat ke arah atas dimana pak haji menunjukkan jari kanannya tersebut. Dan begitu terkejutnya dia, karena disana terlihat peci baru yang semalam diberikan oleh pak haji.

“Sepertinya, semalam pepohonan yang roboh itu adalah pohon yang sedang bersujud Pak Khus. Dan buktinya ketika bapak menyimpan peci di pepohonan yang roboh itu, sekarang peci bapak berada di atas sana…”

Entah apa yang mendorongnya. Karena belum sempat pak haji meneruskan kata-katanya. Pak Khus langsung bersujud sambil meneteskan air mata.

***O***

Bersosialisasi Melalui Berbuka


Tak lama lagi, Idul Fitri tiba. Detik-detik menjelang hari indah nan fitri itu dapat dipergunakan dengan memperbanyak amal saleh yang insya Allah diterima oleh Allah SWT.

Nah, berkaitan dengan hal itu, ada salah satu hal ciri khas yang biasanya dilakukan oleh masyarakat di kota makassar, yaitu berbuka puasa bersama. Berbuka puasa bersama ini biasanya dilakukan di pusat perbelanjaan atau di restoran dan rumah makan. Makanya, menjelang waktu berbuka puasa, tempat-tempat tersebut biasanya ramai dikunjungi. Ada tempat yang menyediakan reservasi terlebih dahulu dan ada pula yang langsung on the spot.

Dengan berbuka puasa bersama teman-teman, para sahabat, rekan sejawat, ataupun keluarga, maka terjadi sebuah silaturahim yang semoga saja merupakan sarana bersosialisasi yang baik. Berbuka puasa dengan menyantap makanan dan minuman halal dilakukan dengan ajang sosialisasi. Selain itu, dengan adanya keramaian pengunjung juga bisa menambah pendapatan bagi tempat-tempat tersebut. Keramaian yang hangat nan ceria. Semoga, dengan bersosialisasi melalui berbuka puasa dapat lebih meningkatkan ukhuwah islamiyah di antara sesama umat muslim di seluruh dunia, khususnya Indonesia. Tak jarang, kegiatan tersebut juga menyertakan kaum nonmuslim yang juga turut berpartisipasi di dalamnya dan semoga juga hal tersebut membuka perdamaian di antara umat beragama.

Laporan Aktual

Memilih Kabar Dari Sumber Terpercaya

Muslimah Daily

Allah bersamamu. Tidakkah Allah Cukup Bagimu

Pena Syariah

MENJADI KUMPULAN PENULIS YANG MENERAJUI PENULISAN BERASASKAN SHARIAH MENJELANG TAHUN 2025

Jadikan Viral!

biar semakin rame!

Blog Abu Hudzaifah

Menghidupkan Sunnah Mematikan Bid'ah

Addariny's --- Centre

Meniti Jejak, Para Salafus Sholih yg Bijak

Aisyna haniifah

sibukkanlah dirimu dengan karya yang bisa mengharumkan namamu di hari akhir

bloginismeiga

Ekspresikan Diri dengan Cerita

Perkembangan Islam di Nusantara

merenung Islam masa lalu, merekam Islam masa kini, mereka Islam masa depan

Catatan Cinta Sahaja

AKU BELAJAR DARI KALIAN DAN AKU MENULISKANNYA

Cahyaiman's Blog

A fine WordPress.com site

Ideological Thinker

We write to SPEAK UP

Indonesian Blogwalker

There are far better things ahead than any we leave behind

Draft Corner

A Place for a Dreamer

Perjalanan Panjang

Tentang Hidup, Asa dan Cinta

blognoerhikmat

lihat dengan kata.baca dengan hati

Ariefmas's Weblog

Sejenak Menapak Riuhnya Dunia Maya

Jendela Puisi

serumpun puisi dari hati yang merindu